Aku mengikuti
pergolakan yang terjadi dengan napas tertahan. Ada rasa yang tiba-tiba membekas
di dada ini.
“Sedikit lagi, Bung.
Sedikit lagi!”
Berkibarlah Benderaku... |
“Jangan jatuh! Ini bisa
jadi sia-sia. Bertahanlah!”
Teriakan demi teriakan menghujani
area sekitar. Dia yang di atas sana tengah berjuang semaksimal mungkin.
Beberapa rekannya bahu-membahu mempertahankan posisinya di atas. Beberapa yang
lain berdiri melingkar, menatap dengan cemas sambil mengucap doa.
“Tidak bisa. Tidak bisa
diikat di puncak teratas,” sahutnya sambil menyeka cairan yang keluar dari
hidungnya.
“Coba naik sedikit
lagi. Percayalah, kami menjagamu dari bawah.”
Dengan lebih berani, ia
beringsut ke atas. Dapat! Ia mencapainya, mencapai ranting tertinggi itu dan
mengikatkan bendera merah putih di atasnya. Bendera itu pun berkibar, di
ranting pohon tertinggi yang sudah lama gugur daunnya.
“Merdeka! Merdeka!”
teriaknya sambil dibantu turun oleh rekannya. Bajunya sudah dipenuhi lendir,
bekas usapan ingusnya.
Bocah-bocah itu lalu
berlari-lari kecil mengitari pohon sambil menyanyikan lagu perjuangan dengan gembira. Suasana 17 Agustusan jadi
kental terasa.
Aku menatap bocah-bocah
itu sambil tersenyum kecil. Ah, semua orang punya cara tersendiri memperingati
kemerdekaan.
“Pak, orang-orang sudah
memasang bendera. Kenapa kita belum?” tanya seorang anak perempuan kepada
bapaknya.
“Biar saja. Tidak
penting juga bagi kita. Lagipula kita tak punya tiang.”
Aku yang mendengar
percakapan kedua manusia yang sedang melewati tepian jalanan itu, segera menuju
ke bawah pohon dan memungut sebuah cabang pohon yang patah karena aksi
bocah-bocah tadi.
“Ini, Pak. Pasang
benderanya disini. Ikat di pagar atau di atas atap,” ucapku tegas, membuat si
bapak terpaku cukup lama.
***
:)semangat
BalasHapusIya kak, selalu... Insya Allah.. n_n
Hapus